Hak Anak untuk Memilih: Kapan Mereka Bisa Menentukan Mau Tinggal dengan Siapa? oleh Ramadhan Hidayatullah

0
10

Perceraian bukan hanya soal perpisahan dua orang dewasa, tapi juga tentang masa depan anak-anak. Pertanyaan klasik yang sering muncul adalah: “Apakah anak boleh memilih tinggal dengan ayah atau ibunya setelah perceraian?”

Sebagian orang tua merasa yakin bahwa anak otomatis akan ikut ibu, sementara sebagian lagi beranggapan bahwa anak bisa bebas menentukan sendiri. Faktanya, hukum di Indonesia punya mekanisme jelas terkait hak anak untuk memilih tempat tinggal pasca perceraian.

Dan di sinilah peran lawyer keluarga menjadi krusial. Bukan sekadar mendampingi di ruang sidang, tapi juga memastikan suara anak didengar tanpa mengorbankan kepentingan terbaik mereka.

1. Landasan Hukum Hak Asuh Anak

Mari kita buka dengan dasar hukumnya. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketika orang tua bercerai:

  • Anak yang belum berusia 12 tahun (dikenal dengan istilah mumayyiz) biasanya diasuh oleh ibunya.

  • Anak yang sudah berusia 12 tahun dapat diberikan kesempatan menyampaikan pendapat tentang dengan siapa ia ingin tinggal.

Namun, keputusan akhir tetap ada di tangan hakim. Jadi meskipun anak menyatakan ingin tinggal dengan ayah, misalnya, hakim akan menimbang apakah itu benar-benar untuk kepentingan terbaik anak.

2. Usia Anak dan Hak untuk Memilih

Inilah poin yang sering disalahpahami. Anak tidak otomatis bisa memilih sejak kecil. Ada batasan usia dan kedewasaan yang jadi patokan:

  • 0–12 tahun: diasumsikan lebih membutuhkan perawatan dan kasih sayang ibu, kecuali terbukti ibu tidak layak (misalnya karena kekerasan, penelantaran, atau masalah serius lainnya).

  • Di atas 12 tahun: anak boleh menyampaikan pendapatnya di hadapan hakim. Namun ingat, pendapat anak bukanlah kata final. Hakim tetap mempertimbangkan aspek psikologis, finansial, dan moral.

Di sinilah pengalaman seorang lawyer kondang Indonesia dapat menentukan jalannya kasus. Lawyer yang berpengalaman bisa membantu menyusun argumentasi yang kuat, mendukung bukti, sekaligus memastikan hak suara anak dihormati dengan cara yang tepat.

3. Faktor yang Dipertimbangkan Hakim

Meski anak sudah cukup umur untuk memilih, keputusan hakim tidak serta merta mengikuti keinginan anak. Ada beberapa faktor kunci:

  • Kesejahteraan anak: siapa yang bisa memberikan pendidikan lebih baik, stabilitas finansial, dan perhatian penuh?

  • Lingkungan sosial: apakah anak tetap bisa melanjutkan sekolah dan kehidupan sosialnya tanpa terganggu drastis?

  • Hubungan emosional: seberapa dekat anak dengan ayah atau ibu?

  • Riwayat pengasuhan: siapa yang selama ini lebih banyak merawat anak?

Bahkan, ada kasus di mana anak menyatakan ingin tinggal dengan salah satu orang tua karena dimanipulasi. Hakim dan psikolog yang mendampingi akan sangat berhati-hati membaca situasi ini.

Peran Lawyer dalam Kasus Hak Asuh

Jangan salah, ini bukan sekadar soal “siapa lebih kaya”. Hak asuh adalah perkara serius yang butuh strategi hukum dan pendekatan psikologis. Seorang lawyer muda yang cerdas sekaligus berjiwa empatik bisa memberikan nilai tambah besar.

Apalagi di era sekarang, banyak lawyer muda Indonesia yang piawai dalam menghadirkan argumentasi berbasis bukti medis, psikologis, hingga rekam digital. Mereka mampu meyakinkan hakim bahwa kepentingan terbaik anak adalah prioritas.

Bagi keluarga Muslim, lawyer muslim juga punya kelebihan memahami fiqh keluarga sekaligus aturan perdata modern, sehingga penyampaian argumen bisa lebih komprehensif.

Studi Kasus: Ketika Anak Memilih

Bayangkan seorang anak berusia 14 tahun mengatakan di depan hakim: “Saya ingin tinggal dengan ayah.”

Apakah serta-merta dikabulkan? Belum tentu. Hakim akan melihat apakah ayah mampu menyediakan lingkungan sehat. Jika ayah terbukti sering bepergian dan menitipkan anak pada kerabat, sementara ibu punya stabilitas lebih baik, maka keputusan bisa berbeda.

Di titik ini, lawyer keluarga punya peran untuk menegaskan bukti konkret: laporan keuangan, rekam pendidikan, testimoni saksi, hingga catatan psikolog.

FAQ – Pertanyaan yang Sering Diajukan

  1. Apakah suami tidak menafkahi harus cerai lewat pengadilan?
    Ya. Jika suami tidak menafkahi, istri berhak menggugat cerai di pengadilan. Hal ini dianggap alasan sah dalam hukum perkawinan.
  2. Bolehkah istri minta cerai karena merasa tidak bahagia?
    Boleh. Perasaan tidak bahagia bisa dijadikan dasar gugatan jika terbukti menimbulkan keretakan rumah tangga yang sulit dipulihkan.
  3. Mengapa hak asuh anak bisa jatuh ke tangan suami?
    Jika suami terbukti lebih layak dari segi moral, finansial, dan waktu pengasuhan, hakim bisa memberikan hak asuh kepadanya.
  4. Apakah istri yang gugat cerai bisa menuntut hak milik tempat tinggal?
    Ya. Selama dapat dibuktikan sebagai bagian dari harta bersama (gono-gini), istri berhak menuntut bagiannya.
  5. Apakah pengacara perceraian membantu pembagian harta gono gini?
    Tentu saja. Pengacara bukan hanya mengurus perceraian, tapi juga memastikan pembagian harta bersama berjalan adil dan sesuai hukum.

Kesimpulan

Anak memang punya hak untuk memilih tinggal dengan siapa setelah orang tua bercerai, tapi hak itu baru berlaku setelah mereka cukup umur dan matang secara psikologis. Bahkan ketika mereka sudah bisa memilih, hakim tetap menimbang banyak faktor demi kepentingan terbaik anak.

Maka, jangan biarkan suara anak terabaikan atau justru dimanipulasi. Diperlukan pendampingan lawyer yang tepat, berintegritas, dan berpengalaman agar proses berjalan adil dan tidak menimbulkan trauma berkepanjangan.

Garda Law Office / GLO

Garda Law Office / GLO memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun membantu ribuan klien mendapatkan haknya. Peduli – Profesional – dan Best Result adalah nilai utama kami.

📞 Hubungi kami di 081-1816-0173 untuk pendampingan kasus hukum Anda.